BAB
I
PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Akhir-akhir
ini masalah korupsi sedang gencar dibicarakan publik, terutama dalam media massa
baik lokal maupun nasional. Banyak para ahli mengemukakan pendapatnya tentang masalah
korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang pro adapula yang kontra. Akan tetapi walau
bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan dapat meusak sendi-sendi
kebersamaan bangsa.
Korupsi
adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang
sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya,
kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang
bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki
status sosial yang tinggi dimata masyarakat.
Korupsi
sudah berlangsung lama, sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma sampai abad
pertengahan dan sampai sekarang. Korupsi terjadi diberbagai negara, tak
terkecuali di negara negara maju sekalipun. Di negara Amerika Serikat sendiri yang
sudah begitu maju masih ada praktek-praktek korupsi. Sebaliknya, pada masyarakat
yang primitif dimana ikatan-ikatan sosial masih sangat kuat dan kontrol sosial
yang efektif, korupsi relatif jarang terjadi. Tetapi dengan semakin berkembangnya
sektor ekonomi dan politik serta semakin majunya usaha-usaha pembangunan dengan
pembukaan-pembukaan sumber alam yang baru, maka semakin kuat dorongan individu
terutama di kalangan pegawai negari untuk melakukan praktek korupsi dan
usaha-usaha penggelapan.
Dalam
perkembanganya di indonesia, korupsi telah terdesentralisasi hingga ke
daerah-daerah di seluruh penjuru Nusantara. Dapat dilihat dari 495 jumlah kabupaten
dan kota di Indonesia, sepertiga di antaranya memiliki pemerintahan yang
bermasalah akibat korupsi. Hal ini menunjukan bahwa korupsi bukan hanya terjadi
di pemerintahan pusat akan tetapi sudah menjadi hal yang lazim di daerah –
daerah.
I.2
Rumusan Masalah
Melihat
dari latar belakang masalah serta memahami pembahasannya maka masalah yang
dibahas dalam penulisan makalah ini adalah :
Bagaimana
pelaksanaan otonomi daerah dapat menjadi peyebab terjadinya desentralisasi
korupsi di daerah?
BAB
II
PEMBAHASAN
II.1.
Pengertian korupsi.
Banyak
para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jika dilihat dari struktrur
bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai
makna yang sama.
Kartono
(1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang
menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan
umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari
kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan
negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan – kekuatan formal (misalnya
denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi
terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki
oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan
pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Wertheim
(dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan
tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan
mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si
pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas
jasa juga termasuk dalam korupsi.
Selanjutnya,
Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau
diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau
partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi
dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas
bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat
yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan
masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
II.2.
Sebab-sebab korupsi
Ada
beberapa sebab terjadinya praktek korupsi. Singh (1974) menemukan dalam
penelitiannya bahwa penyebab terjadinya korupsi di India adalah kelemahan moral
(41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambatan struktur administrasi (17,2%),
hambatan struktur sosial (7,08 %).
Sementara
itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai
berikut :
a.
Peninggalan pemerintahan kolonial.
b.
Kemiskinan dan ketidaksamaan.
c.
Gaji yang rendah.
d.
Persepsi yang populer.
e.
Pengaturan yang bertele-tele.
f.
Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
Di
sisi lain Ainan (1982) menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi
yaitu :
a.
Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
b.
Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes.
c. Tradisi untuk
menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau
suap.
d. Dimana berbagai
macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan moral,
sehingga orang berlomba untuk korupsi.
e. Di India, misalnya
menyuap jarang dikutuk selama menyuap tidak dapat dihindarkan.
f. Menurut
kebudayaannya, orang Nigeria Tidak dapat menolak suapan dan korupsi, kecuali
mengganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya.
g. Manakala orang tidak
menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah, mengapa orang
harus mempersoalkan korupsi
II.3.
Akibat-akibat korupsi.
Nye menyatakan
bahwa akibat-akibat korupsi adalah :
1. Pemborosan
sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya
keahlian, bantuan yang lenyap.
2. ketidakstabilan,
revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan
ketimpangan sosial budaya.
3. pengurangan
kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya
kewibawaan administrasi.
Selanjutnya
Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan,
ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber
negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing,
ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak
represif.
Berdasarkan
pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibat - akibat korupsi
diatas adalah sebagai berikut :
1. Tata ekonomi seperti
larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman
modal.
2.
Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3. Tata politik seperti
pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan
pemerintah, ketidakstabilan politik.
4. Tata administrasi
seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian,
hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah,
pengambilan tindakan-tindakan represif.
Secara
umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendi - sendi kebersamaan
serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
II.4
Pengertian Desentralisasi
Desentralisasi
berasal dari bahasa latin, yaitu De yang berarti lepas , dan Centrum yang
berarti pusat. Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri
berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan
Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi
suatu pemerintahan daerah.
Desentralisasi
sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di
definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem
pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan
dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang
menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga
dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan
sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah.
Elemen
utama Undang –Undang dari desentralisasi ini adalah:
1. Undang-undang
No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang mengatur wewenang serta tanggung jawab politik dan
administratif pemerintah pusat, provinsi, kota, dan kabupaten dalam struktur
yang terdesentralisasi.
2. Undang-undang
No. 25 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan
dasar hukum bagi desentralisasi fiskal dengan menetapkan aturan baru tentang
pembagian sumber-sumber pendapatan dan transfer antar pemerintah. Undang-undang
tersebut mencakup semua aspek utama dalam desentralisasi fiskal dan
administrasi.
Berdasarkan
kedua undang-undang ini, sejumlah besar fungsi-fungsi pemerintahan dialihkan
dari pusat ke daerah sejak awal 2001 dalam banyak hal melewati provinsi.
Berdasarkan undang-undang ini, semua fungsi pelayanan publik kecuali
pertahanan, urusan luar negeri, kebijakan moneter dan fiskal, urusan
perdagangan dan hukum, telah dialihkan ke daerah otonom. Kota dan kabupaten
memikul tanggung jawab di hampir semua bidang pelayanan publik seperti
kesehatan, pendidikan, dan prasarana; dengan provinsi bertindak sebagai
koordinator. Jika ada tugas-tugas lain yang tidak disebut dalam undang-undang,
hal itu berada dalam tanggung jawab pemerintah daerah.
II.Otonomi
daerah sebagai desentralisasi korupsi
Otonomi
Daerah yang timbul pada awal di canangkan Reformasi tahun 1998 pada awalnya
bertujuan secara politik, tujuan Otonomi Daerah adalah untuk memperkuat
Pemerintah Daerah, menunjang kemampuan dan keterampilan berpolitik para
penyelenggara pemerintah dan masyarakat, untuk mempertahankan integrasi
nasional. Serta bertujuan secara ekonomi meningkatkan kemampuan daerah dalam
mengelola potensi ekonomi demi mewujudkan pembangunan daerah dan terciptanya
kesejahteraan dimasing-masing daerah.
Namun
dalam kenyataannya dilapangan otonomi daerah di Indonesia justru menimbulkan
raja-raja kecil di daerah serta penyebaran perilaku korupsi serta terciptanya
aksi aksi kekerasan dalam setiap pilkada didaerah daerah, dimana pemerintah
dikendalikan oleh tangan tangan tak kentara yang berada diluar system dan
structural.
Pelaksanaan
otonomi daerah sudah berjalan dua belas tahun. Saat awal otonomi daerah
dilaksanakan, kita membayangkan otonomi daerah adalah sebuah fase baru, yang
bakal memberikan harapan sekaligus ruang hidup yang lebih leluasa. Hal itu
mengakibatkan antusiasme pemberlakuan otonomi disambut dengan baik. Akan tetapi,
sejak UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah diberlakukan, bahkan sampai
diganti dengan yang baru, yaitu UU No 32 Tahun 2004 diubah menjadi UU No 12
Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, pelaksanaan otonomi daerah tidak
mengalami perubahan dan masih jauh dari tujuan otonomi itu sendiri.
Otonomi daerah telah menimbulkan
masalah-masalah baru, di antaranya menjauh dari cita-cita persatuan bangsa
seperti, pertama, fanatisme daerah. Kedua, mangarah paham separatis. Ketiga,
kebocoran dana APBN yang faktanya masih terus berlanjut karena tidak
terkontrol, di mana keberadaan bupati dan wali kota tidak punya hak untuk
mencampuri proyek-proyek yang diperbantukan pusat kepada provinsi.Keempat, yaitu
tentang suasana pemilihan langsung kepala-kepala daerah yang berlangsung tidak
efektif. Dapat kita lihat sekarang ini kalangan masyarakat menilai
undang-undang ini membuat kita tidak terkendali.
Sektor Korupsi 2010
Sumber: Indonesia Corruption Watch
Dari
data tersebut dapat kita lihat bahwa sektor terbesar dalam penyelenggaraan
korupsi adalah anggaran daerah atau APBD. Hal ini menjukan bahwa kegiatan
korupsi di dominasi di daerah – daerah. Sejak otonomi daerah dib
erlakukan,
banyak kritik yang mengemuka terkait perilaku menyimpang para kepala daerah.
Fenomena munculnya raja-raja kecil hingga maraknya korupsi di daerah menjadi
petanda ada yang salah dengan otda. Selain itu apabila mengacu pada postur
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang mayoritas habis untuk
belanja birokrasi. APBD dinilai masih menjadi incaran para koruptor.
Hal ini dibuktikan terus meningkatnya potensi kerugian negara akibat korupsi yang menggerogoti APBD. Maraknya kasus korupsi yang melibatkan keuangan daerah, terutama APBD, jelas sangat ironis di tengah himpitan hidup masyarakat, kemiskinan, serta angka pengangguran yang telah sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Kasus-kasus korupsi tersebut juga menjadi bukti telah terjadi pembajakan makna desentralisasi sekaligus potret buram pelaksanaan otonomi daerah yang dengan sulit diberlakukan.
Hal ini dibuktikan terus meningkatnya potensi kerugian negara akibat korupsi yang menggerogoti APBD. Maraknya kasus korupsi yang melibatkan keuangan daerah, terutama APBD, jelas sangat ironis di tengah himpitan hidup masyarakat, kemiskinan, serta angka pengangguran yang telah sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Kasus-kasus korupsi tersebut juga menjadi bukti telah terjadi pembajakan makna desentralisasi sekaligus potret buram pelaksanaan otonomi daerah yang dengan sulit diberlakukan.
Kompleksitas
Persoalan Otonomi Daerah dan kasus Korupsi Otonomi daerah bukan hanya telah
memperbanyak jumlah pejabat publik yang dipilih rakyat sehingga meningkatkan
proses demokrasi di tingkat lokal, namun ternyata juga membuka pintu bagi
korupsi dan politik uang. dapat kita lihat bahwa fenomena korupsi di daerah
saat ini dapat disebabkan oleh faktor sistem Pemilukada, karena Dalam sejumlah
kasus di Indonesia, uanglah yang berbicara dalam pemilihan pejabat daerah,
sehingga merusak proses demokrasi pemerintahan lokal. Sebenarnya bukan otonomi
daerahnya yang salah, tetapi sistem pemilihan langsung kepala daerah yang
membuka peluang terjadinya peluang korupsi. Mahalnya biaya pilkada menjadi
penyebab utama mengapa kepala daerah melakukan korupsi. Mereka ingin segera
balik modal dengan memberikan secara gampang izin-izin yang menjadi diskresi
dan kewenangannya.
Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat dari 524 kepala daerah (gubernur, bupati,
dan wali kota), 173 di antaranya terlibat kasus korupsi pada 2004 – 2012. Dari
jumlah tersebut, 70 persen telah diputus bersalah dan diberhentikan. Kementerian
Menteri Dalam Negeri dalam sebuah rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Daerah
menuturkan ada 155 kepala daerah yang tersangkut masalah hukum, 17 orang di
antaranya adalah gubernur. Hampir setiap pekan, seorang kepala daerah
ditetapkan sebagai tersangka. Dari 17 gubernur yang dipaparkan itu, tidak
semuanya masih menjabat.
Dengan
otonomi daerah, para kepala daerah dengan memanfaatkan kekuasaannya sebagai
bupati/wali kota menciptakan modus baru korupsi, antara lain menahan setoran
pajak ke pusat dengan menyimpan di rekening pribadi kepala daerah maupun modus
pinjaman kas daerah untuk investasi pribadi, Modus lain adalah pemanfaatan sisa
dana tanpa pertanggungjawaban, manipulasi sisa APBD, manipulasi perizinan,
gratifikasi dari dana BPD penampung anggaran daerah, hingga bantuan sosial yang
tak sesuai peruntukan. Sehingga banyak cara dan modus yang dipergunakan kepala
daerah dan birokrasi pemerintah daerah untuk memperkaya dirinya
Kita
memahami bahwa desentralisasi politik yang saat ini tengah berjalan memang telah
membalik arah seluruh logika kekuasaan secara sangat cepat dan mengurangi
kekuasaan pusat secara amat signifikan. Konsekuensi dari kondisi tersebut
adalah lahirnya kompleksitas persoalan yang luar biasa dalam spektrum otonomi
daerah. Sebagian adalah persoalan lama yang belum tuntas dan sebagian merupakan
persoalan baru. Di sisi lain, politik otonomi daerah telah menyimpang jauh dari
keinginan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Otonomi daerah hanya
dimaknai sebagai penyerahan kekuasaan dari pusat ke daerah menjadi urusan
daerah, termasuk perilaku korupsi. Akibatnya otonomi daerah berubah menjadi
lahan subur transformasi korupsi dari pusat ke daerah. Otonomi daerah hanya
dijadikan kepala daerah sebagai alat untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyak
bukan bagaimana mensejahterakan masyarakat di daerah.
Sejak
implementasi otonomi daerah dapat dikatakan hampir semua kepala daerah yang
terlibat dalam kasus korupsi belum ada yang dapat dikatakan sukses meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di daerah. Justru sebaliknya sukses membiakan korupsi.
Bagaimana mungkin kita bisa berharap akan terwujudkannya kesejahteraan
masyarakat di daerah, apabila kepala daerah terpilih menjadi tersangka korupsi.
Bahkan ada kepala daerah yang telah divonis penjara terpilih kembali.
BAB
III
PENUTUP
III.1.
Kesimpulan
Otonomi
daerah di satu sisi menyimpan banyak harapan positif, bahwa kemandirian akan
melahirkan peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat di daerah,
meningkatkan efisiensi kinerja pemerintah, dan memaksimalkan potensi-potensi
lokal. Namun di sisi lain, Otonomi daerah juga menimbulkan dampak negatif.
Otonomi yang mengisyarkatkan bahwa pejabat di daerah memiliki kewenangan lebih,
justru menyuburkan korupsi di daerah. Lebih parah lagi, tidak ada pihak-pihak
yang aktif dan kritis mengontrol kewenangan pejabatnya. Institusi-institusi
pengontrol sebenarnya sudah dibentuk. Hanya tidak menjalankan tugasnya dengan
baik. Bahkan mereka justru ikut terjerumus dalam praktik korupsi juga. DPRD
sebagai perwakilan masyarakat di daerah, justru merupakan salah satu lembaga
terkorup di daerah. Iktikad baik dari pihak-pihak terkait, terutama DPRD dan
pemerintah daerah sendiri, untuk menunjukkan dan melestarikan budaya
tansparansi sangat mutlak diperlukan, jika ingin dampak negatif pelaksanaan
otonomi daerah bisa benar-benar dihilangkan.
III.2.
Saran
Dari kesimpulan yang
dijabarkan diatas, maka dapat diberikan beberapa saran antara lain:
1.
Pemerintahan daerah dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu
memperhatikan hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintah daerah,
potensi dan keanekaragaman daerah.
2.
Konsep otonomi luas, nyata, dan
bertanggungjawab tetap dijadikan acuan dengan meletakkan pelaksanaan otonomi
pada tingkat daerah yang paling dekat dengan masyarakat.
3.
Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan
terhadap pemerintah daerah juga perlu diupayakan. Kesempatan yang
seluas-luasnya perlu diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan
mengambil peran. Masyarakat dapat memberikan kritik dan koreksi membangun atas
kebijakan dan tindakan aparat pemerintah yang merugikan masyarakat dalam
pelaksanaan Otonomi Daerah. Karena pada dasarnya Otonomi Daerah ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat juga perlu
bertindak aktif dan berperan serta dalam rangka menyukseskan pelaksanaan
Otonomi Daerah.
Pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah sebaiknya membuang jauh-jauh
egonya untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompoknya dan lebih
mengedepankan kepentingan masyarakat. Pihak-pihak tersebut seharusnya tidak
bertindak egois dan melaksanakan fungsi serta kewajibannya dengan baik
(*) Dari Berbagai Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar