Senin, 04 Maret 2013

Desentralisasi Korupsi


BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang gencar dibicarakan publik, terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Banyak para ahli mengemukakan pendapatnya tentang masalah korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang pro adapula yang kontra. Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan dapat meusak sendi-sendi kebersamaan bangsa.

Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat  dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat.

Korupsi sudah berlangsung lama, sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma sampai abad pertengahan dan sampai sekarang. Korupsi terjadi diberbagai negara, tak terkecuali di negara negara maju sekalipun. Di negara Amerika Serikat sendiri yang sudah begitu maju masih ada praktek-praktek korupsi. Sebaliknya, pada masyarakat yang primitif dimana ikatan-ikatan sosial masih sangat kuat dan kontrol sosial yang efektif, korupsi relatif jarang terjadi. Tetapi dengan semakin berkembangnya sektor ekonomi dan politik serta semakin majunya usaha-usaha pembangunan dengan pembukaan-pembukaan sumber alam yang baru, maka semakin kuat dorongan individu terutama di kalangan pegawai negari untuk melakukan praktek korupsi dan usaha-usaha penggelapan.

Dalam perkembanganya di indonesia, korupsi telah terdesentralisasi hingga ke daerah-daerah di seluruh penjuru Nusantara. Dapat dilihat dari 495 jumlah kabupaten dan kota di Indonesia, sepertiga di antaranya memiliki pemerintahan yang bermasalah akibat korupsi. Hal ini menunjukan bahwa korupsi bukan hanya terjadi di pemerintahan pusat akan tetapi sudah menjadi hal yang lazim di daerah – daerah.

I.2 Rumusan Masalah
Melihat dari latar belakang masalah serta memahami pembahasannya maka masalah yang dibahas dalam penulisan makalah ini adalah :
Bagaimana pelaksanaan otonomi daerah dapat menjadi peyebab terjadinya desentralisasi korupsi di daerah?


BAB II
PEMBAHASAN
II.1. Pengertian korupsi.

Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jika dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama.
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan – kekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi.
Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.


II.2. Sebab-sebab korupsi

Ada beberapa sebab terjadinya praktek korupsi. Singh (1974) menemukan dalam penelitiannya bahwa penyebab terjadinya korupsi di India adalah kelemahan moral (41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambatan struktur administrasi (17,2%), hambatan struktur sosial (7,08 %).
Sementara itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
a. Peninggalan pemerintahan kolonial.
b. Kemiskinan dan ketidaksamaan.
c. Gaji yang rendah.
d. Persepsi yang populer.
e. Pengaturan yang bertele-tele.
f. Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.                

Di sisi lain Ainan (1982) menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi
yaitu :
a. Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
b. Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes.
c. Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap.
d. Dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi.
e. Di India, misalnya menyuap jarang dikutuk selama menyuap tidak dapat dihindarkan.
f. Menurut kebudayaannya, orang Nigeria Tidak dapat menolak suapan dan korupsi, kecuali mengganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya.
g. Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah, mengapa orang harus mempersoalkan korupsi

II.3. Akibat-akibat korupsi.

Nye menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi adalah :
1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
2. ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
3. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibat - akibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :
1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendi - sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

II.4 Pengertian Desentralisasi
Desentralisasi berasal dari bahasa latin, yaitu De yang berarti lepas , dan Centrum yang berarti pusat. Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah.
Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Elemen utama Undang –Undang dari desentralisasi ini adalah:
1.      Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur wewenang serta tanggung jawab politik dan administratif pemerintah pusat, provinsi, kota, dan kabupaten dalam struktur yang terdesentralisasi.
2.      Undang-undang No. 25 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dasar hukum bagi desentralisasi fiskal dengan menetapkan aturan baru tentang pembagian sumber-sumber pendapatan dan transfer antar pemerintah. Undang-undang tersebut mencakup semua aspek utama dalam desentralisasi fiskal dan administrasi.
Berdasarkan kedua undang-undang ini, sejumlah besar fungsi-fungsi pemerintahan dialihkan dari pusat ke daerah sejak awal 2001 dalam banyak hal melewati provinsi. Berdasarkan undang-undang ini, semua fungsi pelayanan publik kecuali pertahanan, urusan luar negeri, kebijakan moneter dan fiskal, urusan perdagangan dan hukum, telah dialihkan ke daerah otonom. Kota dan kabupaten memikul tanggung jawab di hampir semua bidang pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan prasarana; dengan provinsi bertindak sebagai koordinator. Jika ada tugas-tugas lain yang tidak disebut dalam undang-undang, hal itu berada dalam tanggung jawab pemerintah daerah.
II.Otonomi daerah sebagai desentralisasi korupsi
Otonomi Daerah yang timbul pada awal di canangkan Reformasi tahun 1998 pada awalnya bertujuan secara politik, tujuan Otonomi Daerah adalah untuk memperkuat Pemerintah Daerah, menunjang kemampuan dan keterampilan berpolitik para penyelenggara pemerintah dan masyarakat, untuk mempertahankan integrasi nasional. Serta bertujuan secara ekonomi meningkatkan kemampuan daerah dalam mengelola potensi ekonomi demi mewujudkan pembangunan daerah dan terciptanya kesejahteraan dimasing-masing daerah.
Namun dalam kenyataannya dilapangan otonomi daerah di Indonesia justru menimbulkan raja-raja kecil di daerah serta penyebaran perilaku korupsi serta terciptanya aksi aksi kekerasan dalam setiap pilkada didaerah daerah, dimana pemerintah dikendalikan oleh tangan tangan tak kentara yang berada diluar system dan structural.
Pelaksanaan otonomi daerah sudah berjalan dua belas tahun. Saat awal otonomi daerah dilaksanakan, kita membayangkan otonomi daerah adalah sebuah fase baru, yang bakal memberikan harapan sekaligus ruang hidup yang lebih leluasa. Hal itu mengakibatkan antusiasme pemberlakuan otonomi disambut dengan baik. Akan tetapi, sejak UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah diberlakukan, bahkan sampai diganti dengan yang baru, yaitu UU No 32 Tahun 2004 diubah menjadi UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, pelaksanaan otonomi daerah tidak mengalami perubahan dan masih jauh dari tujuan otonomi itu sendiri.
Otonomi daerah telah menimbulkan masalah-masalah baru, di antaranya menjauh dari cita-cita persatuan bangsa seperti, pertama, fanatisme daerah. Kedua, mangarah paham separatis. Ketiga, kebocoran dana APBN yang faktanya masih terus berlanjut karena tidak terkontrol, di mana keberadaan bupati dan wali kota tidak punya hak untuk mencampuri proyek-proyek yang diperbantukan pusat kepada provinsi.Keempat, yaitu tentang suasana pemilihan langsung kepala-kepala daerah yang berlangsung tidak efektif. Dapat kita lihat sekarang ini kalangan masyarakat menilai undang-undang ini membuat kita tidak terkendali.
Sektor Korupsi 2010
 
Sumber: Indonesia Corruption Watch

Dari data tersebut dapat kita lihat bahwa sektor terbesar dalam penyelenggaraan korupsi adalah anggaran daerah atau APBD. Hal ini menjukan bahwa kegiatan korupsi di dominasi di daerah – daerah. Sejak otonomi daerah dib
erlakukan, banyak kritik yang mengemuka terkait perilaku menyimpang para kepala daerah. Fenomena munculnya raja-raja kecil hingga maraknya korupsi di daerah menjadi petanda ada yang salah dengan otda. Selain itu apabila mengacu pada postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang mayoritas habis untuk belanja birokrasi. APBD dinilai masih menjadi incaran para koruptor.
Hal ini dibuktikan terus meningkatnya potensi kerugian negara akibat korupsi yang menggerogoti APBD. Maraknya kasus korupsi yang melibatkan keuangan daerah, terutama APBD, jelas sangat ironis di tengah himpitan hidup masyarakat, kemiskinan, serta angka pengangguran yang telah sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Kasus-kasus korupsi tersebut juga menjadi bukti telah terjadi pembajakan makna desentralisasi sekaligus potret buram pelaksanaan otonomi daerah yang dengan sulit diberlakukan.
Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah dan kasus Korupsi Otonomi daerah bukan hanya telah memperbanyak jumlah pejabat publik yang dipilih rakyat sehingga meningkatkan proses demokrasi di tingkat lokal, namun ternyata juga membuka pintu bagi korupsi dan politik uang. dapat kita lihat bahwa fenomena korupsi di daerah saat ini dapat disebabkan oleh faktor sistem Pemilukada, karena Dalam sejumlah kasus di Indonesia, uanglah yang berbicara dalam pemilihan pejabat daerah, sehingga merusak proses demokrasi pemerintahan lokal. Sebenarnya bukan otonomi daerahnya yang salah, tetapi sistem pemilihan langsung kepala daerah yang membuka peluang terjadinya peluang korupsi. Mahalnya biaya pilkada menjadi penyebab utama mengapa kepala daerah melakukan korupsi. Mereka ingin segera balik modal dengan memberikan secara gampang izin-izin yang menjadi diskresi dan kewenangannya.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat dari 524 kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota), 173 di antaranya terlibat kasus korupsi pada 2004 – 2012. Dari jumlah tersebut, 70 persen telah diputus bersalah dan diberhentikan. Kementerian Menteri Dalam Negeri dalam sebuah rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Daerah menuturkan ada 155 kepala daerah yang tersangkut masalah hukum, 17 orang di antaranya adalah gubernur. Hampir setiap pekan, seorang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka. Dari 17 gubernur yang dipaparkan itu, tidak semuanya masih menjabat.
Dengan otonomi daerah, para kepala daerah dengan memanfaatkan kekuasaannya sebagai bupati/wali kota menciptakan modus baru korupsi, antara lain menahan setoran pajak ke pusat dengan menyimpan di rekening pribadi kepala daerah maupun modus pinjaman kas daerah untuk investasi pribadi, Modus lain adalah pemanfaatan sisa dana tanpa pertanggungjawaban, manipulasi sisa APBD, manipulasi perizinan, gratifikasi dari dana BPD penampung anggaran daerah, hingga bantuan sosial yang tak sesuai peruntukan. Sehingga banyak cara dan modus yang dipergunakan kepala daerah dan birokrasi pemerintah daerah untuk memperkaya dirinya
Kita memahami bahwa desentralisasi politik yang saat ini tengah berjalan memang telah membalik arah seluruh logika kekuasaan secara sangat cepat dan mengurangi kekuasaan pusat secara amat signifikan. Konsekuensi dari kondisi tersebut adalah lahirnya kompleksitas persoalan yang luar biasa dalam spektrum otonomi daerah. Sebagian adalah persoalan lama yang belum tuntas dan sebagian merupakan persoalan baru. Di sisi lain, politik otonomi daerah telah menyimpang jauh dari keinginan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Otonomi daerah hanya dimaknai sebagai penyerahan kekuasaan dari pusat ke daerah menjadi urusan daerah, termasuk perilaku korupsi. Akibatnya otonomi daerah berubah menjadi lahan subur transformasi korupsi dari pusat ke daerah. Otonomi daerah hanya dijadikan kepala daerah sebagai alat untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyak bukan bagaimana mensejahterakan masyarakat di daerah.
Sejak implementasi otonomi daerah dapat dikatakan hampir semua kepala daerah yang terlibat dalam kasus korupsi belum ada yang dapat dikatakan sukses meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Justru sebaliknya sukses membiakan korupsi. Bagaimana mungkin kita bisa berharap akan terwujudkannya kesejahteraan masyarakat di daerah, apabila kepala daerah terpilih menjadi tersangka korupsi. Bahkan ada kepala daerah yang telah divonis penjara terpilih kembali.



BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
Otonomi daerah di satu sisi menyimpan banyak harapan positif, bahwa kemandirian akan melahirkan peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat di daerah, meningkatkan efisiensi kinerja pemerintah, dan memaksimalkan potensi-potensi lokal. Namun di sisi lain, Otonomi daerah juga menimbulkan dampak negatif. Otonomi yang mengisyarkatkan bahwa pejabat di daerah memiliki kewenangan lebih, justru menyuburkan korupsi di daerah. Lebih parah lagi, tidak ada pihak-pihak yang aktif dan kritis mengontrol kewenangan pejabatnya. Institusi-institusi pengontrol sebenarnya sudah dibentuk. Hanya tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Bahkan mereka justru ikut terjerumus dalam praktik korupsi juga. DPRD sebagai perwakilan masyarakat di daerah, justru merupakan salah satu lembaga terkorup di daerah. Iktikad baik dari pihak-pihak terkait, terutama DPRD dan pemerintah daerah sendiri, untuk menunjukkan dan melestarikan budaya tansparansi sangat mutlak diperlukan, jika ingin dampak negatif pelaksanaan otonomi daerah bisa benar-benar dihilangkan.
III.2. Saran
Dari kesimpulan yang dijabarkan diatas, maka dapat diberikan beberapa saran antara lain:
1.      Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintah daerah, potensi dan keanekaragaman daerah.
2.      Konsep otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab tetap dijadikan acuan dengan meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah yang paling dekat dengan masyarakat.
3.      Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah juga perlu diupayakan. Kesempatan yang seluas-luasnya perlu diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran. Masyarakat dapat memberikan kritik dan koreksi membangun atas kebijakan dan tindakan aparat pemerintah yang merugikan masyarakat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Karena pada dasarnya Otonomi Daerah ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat juga perlu bertindak aktif dan berperan serta dalam rangka menyukseskan pelaksanaan Otonomi Daerah.
Pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah sebaiknya membuang jauh-jauh egonya untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompoknya dan lebih mengedepankan kepentingan masyarakat. Pihak-pihak tersebut seharusnya tidak bertindak egois dan melaksanakan fungsi serta kewajibannya dengan baik


(*) Dari Berbagai Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar