Kamis, 07 Maret 2013

Kasus Ambalat Menurut Pandangan Realisme


Analisa Dinamika Hubungan Bilateral Indonesia – Malaysia menurut pandangan Realisme dalam Studi Kasus masalah Ambalat

Latar Belakang Permasalahan

Wilayah Ambalat berada di Laut Sulawesi, sebelah timur pantai Kalimantan. Indonesia dan Malaysia saling klaim atas lempeng benua (continental) shelf) dan Zona Ekonomi Eksklusif di wilayah itu .Sebagaimana diketahui isu sengketa tumpang tindih yurisdiksi hak berdaulat di ZEE Blok Ambalat (seluas 10.750 km2) dan Blok Ambalat Timur (seluas 4.739 km2) versi Indonesia atau hampir kongruen dengan ZEE Blok ND6 dan ND7 (Blok YZ) versi Peta Pentas Benua Malaysia 1979 –selanjutnya dalam hal ini disebut masalah Ambalat– merupakan persoalan kedaulatan Negara Indonesia maupun Malaysia, mengingat masalah tersebut menyangkut kepentingan geo-politik suatu negara. Lebih-lebih setelah didapatinya fakta kandungan sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi yang sangat melimpah di wilayah perairan Ambalat.

Masalah Ambalat muncul pertama kali tahun 1967. Setelah pertemuan teknis hukum laut antara Malaysia – Indonesia, kedua pihak sepakat kecuali mengenai Pulau Sipadan dan Ligitan akan diberlakukan sebagai keadaan status quo. Kemudian pada 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia – Malaysia yang selanjutnya diratifikasi pada 7 November 1969. Namun masih pada tahun 1969 Malaysia membuat peta baru yang memasukan Pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra Blanca) dalam wilayahnya. Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Pada 17 Maret 1970 kembali ditanda tangani Persetujuan Tapal Batas Laut Indonesia – Malaysia.

Berikutnya pada tahun 1979 masalah Ambalat muncul lagi setelah Malaysia kembali mengklaim Blok Ambalat yang terletak di perairan Laut Sulawesi (Selat Makassar) sebelah timur Pulau Kalimantan yang masuk wilayah ZEE Indonesia sebagai lebensraum-nya, dengan memasukkan ke dalam peta baru wilayah negaranya (Peta Pentas Benua Malaysia 1979). Peta tersebut memuat tapal batas kontinental dan maritim yang secara sepihak memasukkan blok maritim Ambalat dalam wilayah Malaysia yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati Pulau Sebatik. Peta terbitan Malaysia mendapat protes dan tidak diakui Indonesia.

Menguatnya persaingan internasional atas penguasaan Ambalat, dimulai kembali paska sengketa perebutan dua Pulau Sipadan dan Ligitan antara Malaysia dan Indonesia yang diputus oleh Mahkamah Internasional /ICJ dengan 16 suara banding 1, untuk kemenangan Malaysia pada 17 Desember 2002. Penguasaan geografis terhadap kedaulatan dua pulau tersebut meninggikan moral geo-politik Malaysia untuk berani spekulatif memberikan konsensi minyak pada perusahaan Shell BV (milik Belanda dan Inggris) disekitar perairan lautan Pulau Sipadan dan Ligitan pada 16 Februari 2005, tiga tahun paska perolehan pulau.

Dalam catatan sejarah, sebenarnya jauh sebelumnya tekad Malaysia untuk dapat mengakses SDA minyak di perairan tersebut cukup kuat. Fakta bahwa di sekitar perairan Ambalat mengandung SDA berupa minyak dan gas diketahui Malaysia dari konsensi-konsesi yang terlebih dahulu diberikan Indonesia pada perusahaan asing semenjak tahun 1960-an. Selain itu terdapat dugaan kuat anggota The Seven Sister (tujuh perusahaan minyak raksasa Amerika) mengambil data kekayaan minyak di Blok Ambalat secara tidak sah dari Pertamina yang kemudian membaginya kepada Petronas.
Masuknya Shell BV ke wilayah Blok Ambalat (bukan Blok Ambalat Timur) yang dikuasai ENI melalui pengumuman kontrak migas di Blok ND6 dan ND7 oleh Petronas Carigali Malaysia dan Shell BV pada 2005 menjadi sebuah pertanyaan. Sebagai catatan Shell sendiri pernah masuk melalui pemerintah Indonesia ke Blok Ambalat, tetapi meninggalkannya karena alasan tidak mendapatkan cadangan minyak dan gas. Permohonan masuk kembali Shell kepada pemerintah Indonesia ditolak mengingat telah digantikan oleh ENI perusahaan milik Spanyol. Setelah ENI berhasil mendapatkan minyak dan gas yang besar di wilayah itu, kemudian Shell mencoba masuk melalui Petronas Carigali milik Malaysia.

Akibatnya di tahun 2009, masalah Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat. Sebelumnya di tahun 2005 dan 2007 masalah ini sempat memanas. Pada prinsipnya, sengketa Blok Ambalat merupakan salah satu problematika dalam penerapan pengaturan perbatasan wilayah Indonesia dengan Malaysia dan perebutan kepentingan geo-politik atas SDA minyak. Buktinya paska pemenangan putusan Mahkamah Internasional atas sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, secara sepihak Malaysia mengklaim wilayah perairan sepanjang 70 mil dari garis pantai Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah perairannya.

Malaysia telah berkali-kali melanggar daerah yang berada di laut sebelah timur Pulau Kalimantan tersebut. Kapal-kapal patroli Indonesia berulang-ulang memergoki kapal-kapal Malaysia. Pelanggaran wilayah oleh kapal-kapal perang Tentara Laut Diraja Malaysia kerap terjadi bahkan sejumlah nelayan Indonesia ditangkap di tempat dan dirampas paksa hasil tangkapannya karena dianggap melanggar wilayah Malaysia di Ambalat. Normatifnya, di daerah yang masih dalam sengketa, tidak boleh ada manuver dari salah satu pihak.

Berdasarkan data TNI AL, pelanggaran wilayah oleh unsur laut dan udara Tentara Laut Diraja Malaysia maupun Police Marine Malaysia di Perairan Kalimantan Timur khususnya di Perairan Ambalat dan sekitarnya periode Januari sampai April 2009, tercatat sebanyak sembilan kali. Sedangkan berdasarkan catatan Komisi I DPR RI telah terjadi 11 kali pelanggaran Malaysia selama Januari hingga medio 2009.







Analisa :


Blok Ambalat secara strategis sangat penting karena potensi Sumber daya alam di dalamnya. Meskipun nilai blok itu strategis, namun dimensi nasionalisme dalam isu ini di Indonesia lebih menonjol. Berdasarkan Asumsi dasar dalam teori Realisme yaitu (1) pandangan pesimis atas sifat manusia (state actor); (2) keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa konflik internasional pada akhirnya diselesaikan melalui perang (zero sum gains dan hubungan internasional yang anarki); (3) menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara (national interest and survive); (4) Skeptisme dasar akan kemajuan dalam politik internasional seperti yang terjadi dalam kehidupan politik domestik.

Kasus Ambalat hubungannya dengan ekonomi dan geo-politik Internasional. Perekonomian internasional lebih merupakan arena konflik antara kepentingan nasioanal yang bertentangan dari pada sebagai wilayah kerjasama yang saling menguntungkan. Persaingan ekonomi antar negara adalah permainan Zero-sum dimana keuntungan suatu negara merupakan kerugian bagi negara lain. Negara-negara harus khawatir mengenai keuntungan ekonomi relatif sebab kekayaan material yang di kumpulkan oleh suatu negara dapat menjadi basis bagi kekuatan politik –militer yang dapat di gunakan untuk melawan negara lain

Berdasarkan pandangan realisme tersebut membuat Isu ini menarik perhatian masyarakat Indonesia dan memicu gelombang anti Malaysia di semua tingkatan masyarakat dari rakyat kecil hingga elit politik. Dalam isu ini, masyarakat Indonesia secara kompak menyuarakan penentangannya atas klaim Malaysia, sehingga mengingatkan kembali slogan propaganda pada era Sukarno, ‘Ganyang Malaysia’.

Sedangkan Dalam perspektif geo-politik Malaysia, Kasus Ambalat merupakan satu persoalan strategis terkait sumberdaya alam. Didasarkan pada asumsi tersebut maka permasalahan Blok Ambalat tidaklah sekedar dilihat dari perspektif konflik batas laut (tumpang tindih yurisdiksi). Konflik hanya merupakan tujuan antara untuk memperoleh tujuan final berupa akses penguasaan terhadap SDA di Ambalat demi menopang kepentingan nasionalnya

Berdasarkan asusmsi kedua negara, dapat di simpulkan bahwa menurut pandangan realisme menilai bahwa hubungan bilateral sebuah negara hanya akan menimbulkan konflik antar kedua negara. Selain itu, masing – masing negara juga hanya melihat kasus tersebut berdasarkan kepentingan dari negaranya masing – masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar